Hallo Everyone!
Alhamdulillah ya, akhirnya perang batin itu tuntas sudah. hahaha.. (Cerita awalnya bisa dibaca di sini ya.) Akhirnya aku konsul juga nih ke dokter. Setelah dapet rujukan dari dokter spesialis anak, 2 hari berikutnya aku dateng ke dokter rehab medik. Tadinya kupikir dokter spesialis anak tersebut merujuk ke dokter tumbuh kembang. Ternyata setelah ditanya, aku ini dirujuk ke dokter rehab medik. Agak bingung juga ya. Setahuku rehab medik itu yang terapi-terapi gitu, terapi tulang abis jatuh atau kecelakaan. Betapa sotoynya aku. Haha.. Akhirnya googling karena penasaran kenapa speech delay harus ke dokter rehab medik.
Informasi mengenai dokter rehab medik bisa dibaca di sini.
Jadi, waktu itu aku datang ke dr. Hendriko di RS Hermina Bogor. Ruangannya ada di lantai 6 menyatu dengan klinik tumbuh kembang. Untuk pendaftaran di RS Hermina Bogor bisa melalui aplikasi atau telpon call center 1500 488. Untuk daftar ulang bisa dilakukan di meja informasi/pendaftaran di lantai 5. Setelah daftar ulang kita bisa langsung ke lantai 6, menaruh berkas pendaftaran dan menunggu dipanggil.
Waktu itu aku datang sekitar jam 9. Terlihat di ruang tunggu itu penuh, banyak orang. Wah ngantri panjang pikirku. Eh ternyata hanya menunggu 1 antrian, nama Yaya langsung dipanggil. Aku bayanginnya dokternya bakal kaku terus menjemukan. Eh taunya seramah itu. Ketika masuk ruangannya, beliau menyambut dengan berdiri, nyamperin kita dan ngajak salaman. Waw sekali. Seumur-umur berobat ke RS/klinik manapun baru ini yang dokternya menyambut dengan sebegitunya. Sungguh menghangatkan hati. hehe..
Ditanya pula, di mana bu rumahnya? Ada keluhan apa nih? Pas ditanya begitu kan langsung aja hamba curhad mengenai kondisi Yaya dan keresahanku selama ini. Terus ditanya dulu nih biodatanya Yaya. Anak ke berapa dari berapa bersaudara terus apakah kakak-kakaknya dulu mengalami hal yang sama dengan Yaya? Setelah ngobrol-ngobrol bentar barulah sang dokter memeriksa Yaya. Biasa, dicek pakai stetoskop terus dicek sekujur tubuhnya. Kepala, telinga, tangan, kaki. Kayak dipegang, dicek ada yang salah ga gitu. Nah di sini Yaya nangis senangis-nangisnya. Trauma mungkin dia, beberapa hari yang lalu abis diimunisasi. Heu..
Sambil Yaya nangis-nangis gitu, dokternya tetep nanya, "Menurut ibu, kenapa nih? Gadget? suka dikasih gadget ga di rumah?" Sambil ga kedengeran aku tetep jawab, "Iya dok, saya kasih screen time.. ". Sebenernya masih ada terusannya. Wkwkwk.. Tapi karena Yaya ngamuk jadi yaudah. Dokter pun mengakhiri sesi pemeriksaan fisiknya. Aku kasih Yaya screen time tapi masih dalam batasan-batasan yang dianjurkan. Ga pernah yang berjam-jam banget dicuekin anteng sendiri. Dan ya ada alasan juga kenapa aku kasih Yaya screen time. Yang cuma ibu single fighter, minim support system yang paham. Heu.. (pasti bakal ada yang bilang, alesannn aja lau 😆🙏). Karena di rumah juga ada 2 anak lain yang dapet jatah screen time, jadi Yaya suka ngintip-ngintip tuh. Terus kalau nontonnya di TV kan otomatis keliatan juga sama Yaya.
Terus setelah pemeriksaan selesai, dokternya bilang, "Speech delay aja ini mah, bu". Speech delay tapi pake aja. Kusimpulkan sebagai terlambat bicara tanpa ada gangguan lainnya alias late talker atau belakangan aku tahu ada istilah speech delay murni.
Penyebab Speech Delay / Keterlambatan Bicara
Oia, ngomong-ngomong tentang keterlambatan bicara ini, terutama yang terjadi sama Yaya. Salah satunya memang karena screen time. Tapi menurutku banyak juga variabel lainnya. Kedua kakaknya Yaya mendapat perlakuan sama. Sama-sama dikasih screen time. Bahkan si sulung kalau secara frekuensi screen time-nya lebih panjang. Karena tahun 2015 kayaknya per-gadget-an ini belum terlalu banyak yang bahas. Jadi aku awam banget. Tapi ya qodarullah para kakak perkembangan bahasa & bicaranya sesuai umur. Umur 12 bulan sudah melafalkan kata dengan jelas. Umur 2 tahun sudah lancar berbicara.
Terus kenapa Yaya yang ketempuhan? heuheu.. Dan ternyata keadaan lingkungan juga mempengaruhi. Anak ke 1 dan 2 lahir di masa sebelum pandemi. Lingkungan rumah kami masih ramai. Para tetangga masih banyak yang punya anak kecil. Tiap sore anak-anak main di luar. Akung utinya masih aktif, sering datang ke rumah, ngajak main, ngajak jalan-jalan. Waktu itu juga masih ada sepupunya yang tinggal berdekatan. Jadi sering main bareng.
Aku pun cukup sering membawa mereka jalan-jalan keluar. Entah hanya di sekitaran komplek atau ke mall. Dan tiap weekend pas papanya libur pun pasti kita main keluar. Oia, waktu itu kita juga punya ART yang sayang dan dekat dengan anak-anak. Jadi sering ngajak main. Main mainan di rumah atau main di luar di sekitaran komplek. Ngajak mereka kenalan sama anak-anak blok sebelah juga. Selain itu orangnya ramah dan lumayan ceriwis. Jadi kedua kakaknya Yaya banyak mengalami stimulasi, banyak bertemu orang, banyak datang ke tempat baru.
Sedangkan Yaya lahir di masa pandemi. Otomatis jadi jarang keluar rumah. Jarang jalan-jalan, baik di sekitar rumah atau yang jauh-jauh. Tetangga sudah banyak yang pindah. Anak-anaknya pun sudah pada gede. Bener-bener ga pernah ada lagi yang main di luar. Akung dan uti sudah jarang berkunjung karena kesehatannya. Sepupunya sudah pindah kota. Para kakak dari pagi - siang sibuk sekolah. Kebetulan ART kami yang sekarang orangnya sangat pendiam. Jadi temannya Yaya cuma mama. Sementara mama juga ada aja kerjaannya, kurang sehatnya atau butuh "me time"-nya. Hiks.. Jadinya Yaya kurang stimulasi, kurang bergaul, kurang melihat hal-hal lain di luar lingkungan rumah. Maaf ya Yayaaaa.. T_T
Piramida Pembelajaran Anak
Oke, balik lagi ke pemeriksaannya Yaya. Setelah selesai memeriksa Yaya, dokter mempersilakan aku duduk dan menunjukkan sesuatu melalui komputernya. Ternyata itu adalah gambar panca indera dan otak manusia.
![]() |
| Panca indera dan otak manusia (gambar dari google) |
Kira-kira gambar yang ditunjukkan dokter seperti ini. Tidak persis seperti ini tapi maksudnya sama. hehe.. Beliau menjelaskan bahwa untuk bisa melakukan sesuatu, otak manusia menerima semacam "pesan" dari panca indera. Setelah otak mendapat "pesan" tersebut barulah manusia bisa mengerti atau melakukan sesuatu itu. Sama halnya kemampuan berbicara pada anak. Sensory dari kelima inderanya harus dikuatin. Agar bisa mengirim sinyal ke otak dengan sebagaimana mestinya.
Dokter juga menunjukkan gambar piramida seperti berikut :
Ini adalah piramida pembelajaran. Untuk lebih jelasnya bisa googling aja ya. hehe.. Jadi intinya sebelum anak bisa sesuatu (piramida bagian atas), harus dikuatin dulu pondasinya (piramida bagian bawah). Nah Yaya ini masih kurang kuat pondasinya, jadi masih belum sempurna kemampuan berbicaranya. Kata dr. Hendriko, untuk menguatkan pondasi ini harus dilakukan stimulasi.
Stimulasi untuk Perkembangan Berbicara Pada Anak
Setelah dokter menerangkan hal-hal di atas, beliau menunjukkan beberapa benda yang harus disediakan di rumah. Nah berarti cukup stimulasi di rumah aja. Soalnya dari yang saya baca & lihat di reels-reels rata-rata diarahkan untuk terapi wicara di klinik tumbuh kembang.
Tapi kalaupun Yaya memang harus terapi di klinik tumbang tetap akan kujalani, kok. Demiiiii ya kan? hihi.. Untuk saat ini dokter menyarankan untuk banyak stimulasi di rumah, mudah-mudahan seterusnya begini ya. Aamiin. Nah berikut ini benda-benda yang disarankan dr.Hendriko untuk disediakan di rumah sebagai media stimulasi kemampuan berbicara anak :