![]() |
| Ibu (Sumber : Canva) |
Pagi ini sibuk sekali. Seperti biasa. Padahal hari ini adalah cuti bersama di Indonesia, hadiah tambahan setelah libur Hari Raya Waisak kemarin. Tapi ya, yang namanya cuti bersama, keputusan akhirnya tetap kembali ke masing-masing instansi. Mau ikut libur, silakan. Tidak pun, tiada mengapa.
Anak pertamaku, kebetulan sekolahnya tidak mengikuti kalender cuti nasional. Hari ini masuk sekolah. Katanya, karena minggu depan kakak-kakak kelas 6 akan ujian nasional, jadi adik-adiknya akan diliburkan. Maka hari ini mereka masih masuk seperti biasa.
Semalam, anak sulungku sempat batuk-batuk, alerginya kumat. Tapi menjelang tidur, ia mulai membaik. Saat malam bergulir, aku sempat memantau, tak terdengar lagi batuknya. "Wah, besok bisa sekolah nih," pikirku.
Pagi datang. Aku bersiap. Seperti mesin otomatis, mengisi ulang energi yang bahkan belum sempat terkumpul utuh. Bekal disiapkan, air mandi dipanaskan, abang roti dikejar untuk snack pagi si kecil. Semua demi satu pagi yang (semoga) berjalan lancar. Bahkan sempat-sempatnya seekor kucing nongkrong di keset teras rumah, mengganggu mobilitas ku yang sudah nyaris seperti lomba lari estafet.
Dan seperti belum cukup, si bungsu ngompol. Lengkaplah sudah. Semua terasa berantakan. Jujur saja, sempat terlintas di hati: “Coba kakak juga libur ya, mungkin semua bisa ku hadapi lebih mindful.” Tapi oke, demi kelancaran sekolah kakak, akan ku hadapi apa pun yang menghalangi. Hehe..
Sebenarnya hari ini sempat terasa spesial. Kakak dan papanya sudah janjian semalam. Karena papanya libur, beliau yang akan mengantar kakak ke sekolah dengan motor. Hal yang sudah lama diidam-idamkan anakku. Pagi tadi seharusnya menjadi pagi yang penuh semangat. Bahkan kami sudah rencana menjemput kakak rame-rame siang nanti, lalu makan siang bersama di luar. What a perfect day...
Namun manusia hanya bisa berencana.
Ketika membangunkan kakak, ternyata susah sekali. Dia memang bangun, tapi tidak benar-benar "bangun". Suaranya lirih, sengau, dan hidungnya tersumbat. Alerginya ternyata belum tuntas. Dengan berat hati, aku mengizinkan dia untuk tidak sekolah dan mengabari gurunya lewat pesan singkat.
Hal seperti ini bukan pertama kali terjadi. Tapi tetap saja, hari ini, entah mengapa rasanya jauh lebih berat. Pagi yang kujalani dengan penuh semangat, berubah jadi letih yang menggumpal di dada. Mereka (anak dan papanya) tidur lagi dengan nyamannya. Aku? Bak bik buk sendirian sejak matahari belum benar-benar terbit. Semua terasa sia-sia. Dan akhirnya, aku ngambek. Nangis. Sendirian di kamar.
Mungkin bukan hanya soal pagi ini. Tapi tentang pagi-pagi sebelumnya. Tentang hari-hari panjang yang tak sempat punya jeda. Tentang pengorbanan yang tidak selalu dihargai. Tentang cinta yang kadang tak tampak, tapi tetap ada. Aku merasa... lelah. Sendiri. Terlalu banyak memberi, terlalu sedikit dihargai.
Tapi aku tahu, begitulah dinamika menjadi seorang ibu.
Mood naik turun. Hati kadang terlalu sensitif, terlalu lelah, terlalu sepi. Padahal aku tak sedang mengeluh. Tak ingin menyerah. Hanya butuh jeda. Butuh apresiasi. Butuh kata sederhana seperti, "Terima kasih". Butuh pelukan kecil atau sentuhan ringan yang menandakan: "Kami tahu kamu lelah."
Karena, sesungguhnya...
Fisik mungkin kuat, tapi hati ibu tetap manusiawi.
Dan satu pujian kecil bisa jadi bahan bakar untuk berlari jauh.
Semoga semua ibu, di manapun berada, senantiasa menemukan bahagia bahkan di saat paling jatuhnya.
Dan semoga orang-orang di sekitar ibu... bisa belajar lebih peka. Belajar mencintai lebih penuh. Lebih lembut. Lebih sadar.
Karena di balik ibu yang tegar, ada perempuan yang juga ingin disayang.



No comments:
Post a Comment